KERANGKA DASAR TEORI KEILMUAN
MODEL
HERMENEUTIKA
Makalah
Disampaikan
pada Seminar Kelas untuk
Mata
Kuliah Filsafat Ilmu
Bersama
Muhammad
muslih
OLEH
:
DWI
TANTO SUNAR WAHYU NANDA
NIM :
13160017
KHOIRUL
ANAM
NIM
: 13160018
MAGISTER
PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM
PASCA SARJANA
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH PONOROGO
2013
KERANGKA DASAR TEORI KEILMUAN
MODEL HERMENEUTIKA
A.
PENDAHULUAN
Menurut
istilah, hermeneutika biasa dipahami sebagai: “the art and science of
interpreting especially authoritative writings; mainly in applicationto sacred
scripture, and equivalent to exegesis” (seni dan ilmu menafsirkan khususnya
tulisan-tulisan berkewenangan, terutama berkenaan dengan kitab suci dan sama sebanding
dengan tafsir). Ada juga yang memahami bahwa
hermeneutika merupakan sebuah filsafat yang memusatkan bidang kajiannya pada
persoalan “understanding of
understanding (pemahaman pada pemahaman)” terhadap teks, Terutama teks Kitab
Suci, yang datang dari kurun waktu, tempat, serta situasi sosial yang asing
bagi para pembacanya
Hermeneutika secara etimologis, berasal dari istilah Yunani dari kata kerja
hermenēuein yang berarti menafsirkan atau menginterpretasi, kata benda hermēnia
diterjemahkan penafsiran atau interpretasi. [1] Kedua
kata ini, diasosiasikan pada Dewa Hermes seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan dewa Jupiter kepada manusia. Hermes adalah simbol seorang
duta yang dibebani misi menyampaikan pesan sang dewa. Dikisahkan, pada suatu
saat, yakni ketika harus menyampaikan pesan Dewa untuk manusia, Hermes
dihadapkan pada persoalan yang pelik yaitu: bagaimana menjelaskan bahasa Dewa
yang menggunakan “bahasa langit” agar bisa dimengerti oleh manusia yang
menggunakan “bahasa bumi”. Dengan segala kepintaran & kebijaksanaannya,
Hermes menafisrkan dan menerjemahkan bahasa Dewa ke dalam bahasa manusia
sehingga menjelma menjadi sebuah teks suci. Kata
teks berasal dari bahasa Latin, yang berarti produk tenunan atau pintalan.
Dalam hal ini yang dipintal oleh Hermes adalah gagasan dari kata-kata dewa agar
hasilnya menjadi sebuah narasi dalam bahasa manusia yang bisa dipahami. [2] Dalam mediasi dan proses penyampaian pesan
yang ditugaskan pada Hermes, ditarik tiga bentuk makna dasar dalam
pengertian aslinya, yaitu to express (mengungkapkan), to assert (menjelaskan),
dan to say (menyatakan). Makna-makna tersebut bisa diwakilkan dengan
bentuk kata kerja Inggirs “to interpret”, yang membentuk makna independen
dan signifikan bagi interpretasi. Oleh karenanya, interpertasi mengacu ke 3
(tiga) persoalan berbeda yaitu pengucapan lisan, penjelasan yang masuk
akal, dan penerjemahan dari bahasa lain[3]
Berhasil atau tidaknya misi tergantung cara bagaimana pesan itu
disampaikan. Indikasi keberhasilan, manusia yang awalnya tidak tahu, menjadi
mengetahui makna pesan yang disampaikan. Tugas menyampaikan pesan ini juga
berarti harus mengalih bahasakan ucapan para dewa ke dalam bahasa
yang dapat ditangkap intelegensia manusia. Pengalih bahasaan merupakan bentuk lain dari penafsiran. Dari sini kemudian
pengertian kata hermeneutika memiliki kaitan dengan sebuah penafsiran
atau interpretasi.
B.
Teori
– Teori Hermeneutika
Richard E. Palmer (2005: 38) menyimpulkan Dalam perkembangannya, hermeneutika terbagi
dalam beberapa pembahasan
1.
Hermeneutika sebagai Teori Penafsiran Kitab
Suci
Pemahaman ini merupakan pertama kali digunakan
untuk hermeneutik, di sini hermeneutika difungsikan untuk memahami kitab suci,
terutama oleh kalangan gereja. Hermeneutika bukanlah hasil atau isi penafsiran,
melainkan metode. Tokoh utamanya adalah J.C.Dannhauer. Pada masa ini,
bentuk hermeneutika memunculkan banyak aliran serta corak yang terkadang saling
bertolak belakang.
Tokoh
selanjutnya adalah Schleiermacher(1768-1834), dengan mencetuskan hermeneutika
modern. Schleiermacher juga berjasa membakukan hermeneutika sebagai acuan dalam
interpretasi secara metodologis.
ia yang memperluas pemahaman hermeneutika dari
sekedar kajian teologi (teks bible) menjadi metode memahami dalam pengertian
filsafat. Menurut perspektif tokoh
ini, dalam upaya memahami wacana ada unsur penafsir, teks, maksud pengarang,
konteks historis, dan konteks kultural[4]
2.
Hermeneutika sebagai Metode Filologi
Dalam defenisi ini, hermeneutika difungsikan
sebagai metode pengkajian teks dan menempatkan semua teks sama, termasuk kitab
suci. Pemahaman awal bahwa hermeneutik hanya untuk menafsirkan kitab suci mulai
mengalami pergeseran. Menerapkan metode hermeneutika pada bidang non Kitab Suci
yang terpenting adalah sang penafsir tidak hanya menarik nilai moral dari suatu teks, tetapi juga
mampu memahami roh yang berada di balik teks tersebut, dan menterjemahkan nya secara rasional sesuai konteks yang berlaku. Banyak ahli yang berpendapat,
bahwa pemahaman semacam itu merupakan proses demitologisasi gerakan pencerahan
atas teologi dan agama. Tokoh pada masa ini adalah Johan August Ernesti, ia
diklaim sebagai sosok sekulerisme oleh kalangan gereja [5]
Kajian terpenting dari fungsi metodologi
filologi, hermeneutika menuntut sang penafsir untuk mengerti latar belakang
sejarah dari teks yang ditafsirkannya. Penafsir haruslah mampu berbicara
tentang teks yang ditafsirkannya dengan cara yang sesuai dengan jaman yang
berbeda, serta situasi yang berbeda. Dengan demikian, seorang penafsir juga
adalah seorang ahli sejarah, yang mampu mengerti dan memahami makna historis
dari teks yang dianalisanya, sehingga makna yang tersembunyi dapat terungkap.
3.
Hermeneutika sebagai Ilmu Pemahaman Linguistik
Dari metode filologi, hermeneutika berkembang
kearah sebuah ilmu yang memahami linguistik. Hermeneutika difungsikan sebagai
ilmu untuk memahami berdasarkan teori linguistik dan menjadi landasan
interpretasi teks. Filsuf yang banyak memberikan kontribusi pemahaman linguistik
kepada hermeneutika adalah Schleiermacher. Menurutnya hermeneutika bisa
dikatakan semacam sintesa antara “ilmu” sekaligus “seni” untuk memahami bahasa.
Schleiermacher kurang setuju kalau hermeneutika hanya terfokus kepada metode
filologi, tetapi juga melihat hermeneutika sebagai “hermeneutika umum”.
Hermeneutika semacam ini merupakan semacam sintesa antara tafsir Kitab Suci dan
Filologi. [6]
4.
Hermeneutika sebagai Fenomena Dassein dan
Pemahaman Eksistensial
Dalam defenisi ini, hermeneutika berfungsi
sebagai penafsiran melihat fenomena tentang keberadaan manusia dengan
menggunakan bahasa sebagai instrumennya. Martin Heidegger, dalam merefleksikan
berbagai problem metafisika, ia menggunakan fenomenologi seperti yang
dikemukakan Edmund Husserl. Dalam bukunya Being and Time (1927),
ia melakukan refleksi atas (manusia) Dasein,
yang disebutnya sebagai hermeneutika atas Dasein[7]
Heidegger tidak menyebut hermeneutika sebagai
ilmu ataupun aturan tentang penafsiran teks, atau sebagai metodologi ilmu-ilmu
kemanusiaan, tetapi sebagai eksplisitasi eksistensi manusia itu sendiri. Dalam
konteks ini, hermeneutika bagi Heidegger bahwa “penafsiran” dan “pemahaman”
merupakan modus mengada manusia. Dengan demikian, hermeneutika Dasein dari
Heidegger, terutama selama berupaya merumuskan ontologi dari pengertian,
jugalah merupakan hermeneutika. Ia merumuskan metode khusus hermeneutika untuk
menafsirkan Dasein secara fenomenologis.
5.
Hermeneutika sebagai Sistem Interpretasi
Tokoh dibalik ini adalah Paul Ricoeur, ia
mendefinisikan hermeneutika kembali pada analisis tekstual yang memiliki
konsep-konsep distingtif serta sistematis. “Yang saya maksudkan dengan
hemeneutika,” demikian tulis Ricoeur, “adalah peraturan-peraturan yang menuntun
sebuah proses penafsiran, yakni penafsiran atas teks partikular atapun kumpulan
tanda-tanda yang juga dapat disebut sebagai teks”
Ricoeur membedakan dua macam simbol, yakni
simbol univokal dan simbol ekuivokal. Simbol univokal adalah simbol dengan satu
makna, seperti pada simbol-simbol logika. Sementara itu, simbol ekuivokal, yang
merupakan perhatian utama dari hermeneutika, yang simbol yang memiliki
bermacam-macam makna. Heremeneutika haruslah berhadapan dengan teks-teks
simbolik, yang memiliki berbagai macam makna. Hermeneutika juga haruslah
membentuk semacam kesatuan arti yang koheren dari teks yang ditafsirkan, dan
sekaligus memiliki relevansi lebih dalam serta lebih jauh untuk masa kini
maupun masa depan. Dengan kata lain, hermeneutika merupakan sebuah sistem
penafsiran, di mana relevansi dan makna lebih dalam dapat ditampilkan melampaui
sekaligus sesuai dengan teks yang kelihatan.
6.
Hermeneutika sebagai Fondasi Metodologi bagi Geisteswissenchften
Wilhelm Dithey, ia menyebut hermeneutika
adalah inti disiplin yang dapat melayani sebagai fondasi bagi melihat Geisteswissenchften
(semua disiplin yang memfokuskan pada pemahaman seni, aksi, dan tulisan
manusia) Dalam menafsirkan ekspresi hidup manusia, dibutuhkan tindakkan
pemahaman sejarah. Dalam pandangan Dilthey, apapun yang dibutuhkan dalam
ilmu-ilmu kemanusiaan, merupakan “kritik” nalar yang akan mengurusi pemahaman
sejarah. [8]
7.
Hermeneutika sebagai Sistem Penafsiran
Hermeneutika difungsikan sebagai seperangkat
aturan penafsiran dengan cara menghilangkan segala misteri yang menyelimuti
simbol dengan cara membuka selubung yang menutupinya. Tokohnya utama dibalik
ini adalah Paul Richouer. Ia membedakan interpretasi teks tertulis dan
percakapan. Makna tidak hanya diambil menurut pandangan hidup pengarang, tetapi
juga menurut pengertian pandangan hidup dari pembacanya.
Di samping itu masih ada tokoh lain yang turut
berperan pada perkembang hermeneutika pada masa ini, seperti Jurgen Habermas
(1929-), tokoh hermeneutika kritis, menyebutkan bahwa pemahaman didahului oleh
kepentingan. Yang menentukan horizon pemahaman adalah kepentingan sosial yang
melibatkan kepentingan kekuasaan interpreter. Setiap bentuk penafsiran
dipastikan ada bias dan unsur kepentingan politik, ekonomi, sosial, suku, dan
gender. Selain itu juga ada Jacques Derrida (1930), tokoh hermenutika
dekonstruksionis, dan Edmund Husserl (1889-1938), tokoh hermeneutika fenomenologis.
C.
Tokoh
– tokoh Hermeneutika
Pemikiran dari beberapa filusuf
1.
Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher (1768 -1834)
Tokoh hermeneutika romantisis, memperluas pemahaman hermeneutika dari
sekedar kajian teologi (teks bible) menjadi metode memahami dalam pengertian
filsafat, Ia menyebutkan, dalam upaya memahami wacana ada unsur penafsir, teks, maksud
pengarang, konteks historis, dan konteks kultural. Ia juga membedakan hermeneutik dalam pengertian sebagai ilmu atau seni.
Scleiermacher menulis sebagai berikut: Semenjak seni berbicara dan seni
memahami berhubungan satu sama lain, maka berbicara hanya merupakan sisi luar
dari berpikir, Hermeneutik adalah bagian dari seni berfikir itu dan oleh
karenanya bersifat filosofis.
Penerapan hermeneutik sangatlah luas yaitu dalam bidang teologis,
filosofis, sebab merupakan ” bagian dari seni berfikir “. Pertama- tama buah
pikiran kita mengerti, baru kemudian kita ucapkan. Inilah alasannya, Ia menyatakan bahwa bicara kita berkembang seiring dengan buah pikiran kita.
Namun bila saat berfikir kita merasa perlu untuk membuat persiapan dalam
mencetuskan buah pikiran kita, maka pada saat itulah disebut sebagai ”
Transformasi berbicara yang internal dan orisinal dan karenanya interpretasi
menjadi penting”.
Schleiermacher menawarkan sebuah rumusan positif dalam bidang seni
interpretasi, yaitu rekonstruksi historis, objektif dan
subjektif terhadap pernyataan. Melalui Teori ini, ia bermaksud membahas
sebuah pernyataan dalam hubungannya dengan bahasa sebagai keseluruhan. ia juga bermaksud
membahas awal mula sebuah pernyataan masuk ke dalam pikiran seseorang.
2.
Wilhelm Dilthey (1833 -1911)
Hermeneutika metodis, ia beragumentasi bahwa
proses pemahaman hermeneutika bermula dari pengalaman, kemudian mengekspresikannya.
Pengalaman hidup manusia merupakan sebuah neksus struktural yang mempertahankan
masa lalu sebagai sebuah kehadiran masa kini.
Baginya hermeneutika adalah “tehnik memahami
ekspresi tentang kehidupan yang tersusun dalam bentuk tulisan”. Oleh karena itu
ia menekankan pada peristiwa dan karya-karya sejarah yang merupakan ekspresi
dari pengalaman hidup di masa lalu.
Dilthey membedakan ilmu ke
dalam Naturwissenschaften
atau ilmu pengetahuan tentang alam dan Geisteswissenschaften atau ilmu
pengetahuan tentang batin manusia.
Perbedaan ini sangat penting karena pada kenyataannya kedua jenis
ilmu pengetahuan tersebut mempergunakan metodologi atau pendekatan yang
berbeda.
Naturwissenschaften menggunakan
metode ilmiah yang hasil penemuannya dapat dibuktikan dengan menggunakan metode
yang sangat ketat,
sedangkan Geisteswissenschaften atau tentang
hidup tidak dapat diterapi dengan metode ilmiah
Dilthey menyatakan bahwa metode atau pendekatan hermeneutik
merupakan dasar dari Geisteswissenschaften. Ia tertarik
pada metode hermeneutik ketika ia mencoba memecahkan persoalan tentang
bagaimana membuat segala pengetahuan tentang individu manusia menjadi ilmiah.
3.
Edmund Husserl (1889 -1938)
Hermeneutika fenomenologis, ia beranggapan bahwa pemahaman teks harus
dibiarkan berdiri sendiri tanpa adanya prasangka dan perspektif dari dari
penafsir. Oleh sebab itu, menafsirkan sebuah teks berarti secara metodologis
mengisolasikan teks dari semua hal yang tidak ada hubungannya, termasuk
bias-bias subjek penafsir dan membiarkannya mengomunikasikan maknanya sendiri
pada subjek.
4.
Martin Heidegger (1889 -1976)
Hermeneutika dialektis, menjelaskan tentang pemahaman sebagai sesuatu yang
muncul dan sudah ada mendahului kognisi. Oleh sebab itu, pembacaan atau
penafsiran selalu merupakan pembacaan ulang atau penafsiran ulang.
Pemikiran Heidegger sangat kental dengan nuansa fenomenologis,
Pada tahun 1927, dalam karyanya Sein und Zeit (Being and Time),
Martin Heidegger memberikan pengertian baru tentang hermeneutik.
Menurut Heidegger, hermeneutik bukanlah mengenai pemahaman
komunikasi linguistik, juga bukan
merupakan basis dari metodologi bagi ilmu-ilmu tentang kehidupan manusia atau geisteswissenschaften,
tetapi hermeneutik lebih merupakan ontologi. Heidegger
berpendapat bahwa tugas dari filsafat adalah untuk menunjukkan bagaimana subjek
dapat secara rasional memberikan aturan-aturan epistemologi di mana sebuah
representasi dikatakan sebagai benar atau salah.
5.
Hans-Georg Gadamer (900-2002)
Hermeneutika dialogis, baginya pemahaman yang benar adalah pemahaman yang
mengarah pada tingkat ontologis, bukan metodologis. Kebenaran dapat dicapai
bukan melalui metode, tetapi melalui dialektika dengan mengajukan banyak
pertanyaan. Dengan demikian, bahasa menjadi medium sangat penting bagi
terjadinya dialog.
Gadamer merumuskan hermeneutika filosofisnya dengan bertolak pada empat
kunci heremeneutis
a)
kesadaran terhadap “situasi hermeneutik”,
b)
situasi hermeneutika ini kemudian membentuk “pra-pemahaman” pada diri
pembaca yang tentu mempengaruhi pembaca dalam mendialogkan teks dengan konteks.
Pembaca harus selalu merevisinya agar pembacaannya terhindar dari kesalahan,
c)
setelah itu pembaca harus menggabungkan antara dua horizon, horizon pembaca
dan horizon teks. Keduanya harus dikomunikasikan agar ketegangan antara dua
horizon yang mungkin berbeda bisa diatasi. Pembaca harus terbuka pada horizon
teks dan membiarkan teks memasuki horizon pembaca. Sebab, teks dengan
horizonnya pasti mempunyai sesuatu yang akan dikatakan pada pembaca. Interaksi
antara dua horizon inilah yang oleh Gadamer disebut “lingkaran hermeneutik”.
d)
menerapkan “makna yang berarti” dari teks, bukan makna objektif teks.
Filsafat hermeneutika Gadamer meniscayakan wujud kita berpijak pada asas
hermeneutis, dan hermeneutika berpijak pada asas eksistensial manusia. Ia
menolak segala bentuk kepastian dan meneruskan eksistensialisme Heidegger
dengan titik tekan logika dialektik antara aku (pembaca) dan teks/karya [9]
6.
Jurgen Habermas (1929)
Hermeneutika kritis, menyebutkan bahwa pemahaman didahului oleh
kepentingan. Yang menentukan horison pemahaman adalah kepentingan sosial yang
melibatkan kepentingan kekuasaan interpreter. Setiap bentuk penafsiran
dipastikan ada bias dan unsur kepentingan politik, ekonomi, sosial, suku, dan
gender.
Di dalam teks tersimpan kepentingan pengguna teks. Karena itu, selain
horizon penafsir, teks harus ditempatkan dalam ranah yang harus dicurigai.
Menurut Habermas, teks bukanlah media netral, melainkan media dominasi. Karena
itu, ia harus selalu dicurigai. Bagi Habermas pemahaman didahului oleh kepentingan. Yang menentukan horizon
pemahaman adalah kepentingan sosial (social interest) yang melibatkan
kepentingan kekuasaan (power interest) sang interpereter [10]
7.
Jean Paul Gustave Ricoeur (1913-2005)
Ia selalu menekankan betapa pentingnya memperhatikan simbol-simbol yang
hidup di masyarkaat. Ricoeur menjelaskan tentang simbol-simbol dengan
menggunakan simbol kejahatan dan juga menerangkan asal-usul dari kejahatan itu
dengan menggunakan mitos-mitos. Kenyataan selalu tidak akan pernah lepas dari
simbol-simbol yang harus di tafsirkan. Seperti halnya bahasa yang diterjemahkan
dalam kata-kata, itu semua harus diterjemahkan agar manusia menemukan makna
sesungguhnya. “Setiap teks mempunyai 3 macam otonomi, yaitu, intensi atau
maksud pengarang, situasi cultural dan kondisi social pengadaan teks, serta
untuk siapa teks itu dimaksudkan” (Sumaryono, 1999,109)
Paul Richour mendefinisikan hermeneutika yang mengacu balik pada fokus
eksegesis tekstual sebagai elemen distingtif dan sentral dalam hermeneutika.
Hermeneutika adalah proses penguraian yang beranjak dari isi dan makna yang
nampak ke arah makna terpendam dan tersembunyi. Objek interpretasi, yaitu teks
dalam pengertian yang luas, bisa berupa simbol dalam mimpi atau bahkan
mitos-mitos dari simbol dalam masyarakat atau sastra. Hermeneutika harus
terkait dengan teks simbolik yang memiliki multi makna (multiple meaning); ia
dapat membentuk kesatuan semantik yang memiliki makna permukaan yang
betul-betul koheren dan sekaligus mempunyai signifikansi lebih dalam.
Hermeneutika adalah sistem di mana signifikansi mendalam diketahui di bawah
kandungan yang nampak.[11] Konsep yang utama dalam pandangan Ricoeur adalah bahwa begitu makna
obyektif diekspresikan dari niat subyektif sang pengarang, maka berbagai
interpretasi yang dapat diterima menjadi mungkin. Makna tidak diambil hanya
menurut pandangan hidup (worldview) pengarang, tapi juga menurut pengertian
pandangan hidup pembacanya.[12] Sederhananya, hermeneutika adalah ilmu penafsiran teks atau teori tafsir.
8.
Jürgen Habermas (1929)
Hermenutika dekonstruksionis, mengingatkan bahwa setiap upaya menemukan
makna selalu menyelipkan tuntutan bagi upaya membangun relasi sederhana antara
petanda dan penanda. Makna teks selalu mengalami perubahan tergantung konteks
dan pembacanya.
D.
PENUTUP
Istilah
hermeneutika merujuk kepada sejarah yang panjang dan masih banyak yang perlu
dipelajari. Ketika era metafisika mulai berakhir, dan klaim sains modern dalam
memonopoli ilmu pengetahuan berkurang secara otomatis, maka sebagai suatu upaya
awal (starting point) untuk mengembangkan suatu universalitas yang murni
kita dapat melihat konsep kuno ini (maksudnya hermeneutic ). Namun, di
zaman Romantis (antara 1775-1830 pen.), hermeneutika berkembang hingga kesuatu
titik yang meliputi teori tentang sains kemanusiaan secara menyeluruh. Jadi ia
tidak hanya meliputi jurisprudensi dan teologi, tapi juga filologi dan semua
disiplin terkait.
Karena ilmu
dilahirkan oleh pandangan hidup maka ia memiliki presupposisi sendiri dalam
bidang etika, ontologi, cosmologi dan metafisika. Disinilah sejatinya yang
menentukan bahwa ilmu hermeneutika, itu tidak netral. seperti yang telah
dibahas bahas diatas. Karena setiap konsep dalam suatu peradaban selalu
diwarnai oleh pandangan hidup masing-masing tokoh, hal ini menegaskan bahwa suatu peradaban tidak dapat
begitu saja mengimport suatu konsep kecuali dengan proses modifikasi konseptual
atau apa yang disebut “borrowing process”.
Jika modifikasi konsep itu melibatkan konsep-konsep dasar yang lebih
utama maka perubahan paradigma (Paradigm Shift) tidak dapat dielakkan
lagi.
Tujuan akhir
dari pendekatan hermeneutik adalah kemampuan memahami penulis melebihi
pemahamanm terhadap diri kita sendiri. Seorang sejarawan yang menuliskan
segala peristiwa sejarah, tidak jauh dari zaman di mana ia hidup, tidak akan
mempunyai pandangan yang lebih jernih jika dibandingkan dengan sejarawan yang
hidup sekian abad sesudahnya. Namun pandangan semacam ini dapat juga dianggap
keliru. Sejauh prasangka dan keikutsertaan penulis yang bersifat subjektif
dijauhkan, maka ia dapat melihat segala peristiwa dalam kebenarannya yang
objektif atau sebagaimana mestinya terjadi. Dalam pendekatan hermeneutik,
seseorang menempatkan dirinya dalam konteks ruang dan waktu, maka visinya juga
mengalami berbagai macam perubahan. Ia menggunakan apa saja yang mungkin untuk
ditafsirkan. Ini berbeda dengan metode ilmiah yang lebih mementingkan fenomena.
DAFTAR PUSTAKA
Muslih, Moh.. 2005. Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma
dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Belukar.
Palmer, Richard E. 2005. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi,
Terj. Masnur Heri Damanhuri Muhammad, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hidayat,
Komaruddin. Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutik. Cet. I;
Jakarta: Paramadina, 1996.
Zarkasyi, Hamid
Fahmy. Hermeneutika Sebagai Produk Pandangan Hidup. Dalam Kumpulan
Makalah Workshop Pemikiran Islam Kontemporer, IKPM cabang Kairo, 2006.
[4] Lihat, Richard E.
Palmer, Hermeneutika, Teori Mengenai Interpretasi, (Yogyakarta: Pustaka
Belajar, 2005) 39-42.
[5] Lihat, Richard E. Palmer, Hermeneutika, Teori Mengenai
Interpretasi, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2005) 43-44.
[6] Lihat, Richard E.
Palmer, Hermeneutika, Teori Mengenai Interpretasi, (Yogyakarta:
Pustaka Belajar, 2005) 45-46.
[7] Lihat, Richard E. Palmer, Hermeneutika, Teori Mengenai
Interpretasi, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2005) 46-47.
[8] Lihat, Richard E. Palmer, Hermeneutika, Teori Mengenai
Interpretasi, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2005) 45-46.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar