Jumat, 16 Januari 2015

KERANGKA DASAR TEORI KEILMUAN MODEL HERMENEUTIKA



KERANGKA DASAR TEORI KEILMUAN
MODEL HERMENEUTIKA


Makalah
Disampaikan pada Seminar Kelas untuk
Mata Kuliah Filsafat Ilmu
Bersama
Muhammad muslih
 





OLEH :
DWI TANTO SUNAR WAHYU NANDA
NIM  :  13160017
KHOIRUL ANAM
NIM : 13160018


MAGISTER PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO


2013






KERANGKA DASAR TEORI KEILMUAN
MODEL HERMENEUTIKA
   
A.    PENDAHULUAN
Menurut istilah, hermeneutika biasa dipahami sebagai: “the art and science of interpreting especially authoritative writings; mainly in applicationto sacred scripture, and equivalent to exegesis” (seni dan ilmu menafsirkan khususnya tulisan-tulisan berkewenangan, terutama berkenaan dengan kitab suci dan sama sebanding dengan tafsir). Ada juga  yang memahami bahwa hermeneutika merupakan sebuah filsafat yang memusatkan bidang kajiannya pada persoalan  “understanding of understanding (pemahaman pada pemahaman)” terhadap teks, Terutama teks Kitab Suci, yang datang dari kurun waktu, tempat, serta situasi sosial yang asing bagi para pembacanya
Hermeneutika secara etimologis, berasal dari istilah Yunani dari kata kerja hermenēuein yang berarti menafsirkan atau menginterpretasi, kata benda hermēnia diterjemahkan penafsiran atau interpretasi. [1]  Kedua kata ini, diasosiasikan pada Dewa Hermes  seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan dewa Jupiter  kepada manusia. Hermes adalah simbol seorang duta yang dibebani misi menyampaikan pesan sang dewa. Dikisahkan, pada suatu saat, yakni ketika harus menyampaikan pesan Dewa untuk manusia, Hermes dihadapkan pada persoalan yang pelik yaitu: bagaimana menjelaskan bahasa Dewa yang menggunakan “bahasa langit” agar bisa dimengerti oleh manusia yang menggunakan “bahasa bumi”. Dengan segala kepintaran & kebijaksanaannya, Hermes menafisrkan dan menerjemahkan bahasa Dewa ke dalam bahasa manusia sehingga menjelma menjadi sebuah teks suci. Kata teks berasal dari bahasa Latin, yang berarti produk tenunan atau pintalan. Dalam hal ini yang dipintal oleh Hermes adalah gagasan dari kata-kata dewa agar hasilnya menjadi sebuah narasi dalam bahasa manusia yang bisa dipahami. [2]   Dalam mediasi dan proses penyampaian pesan yang ditugaskan pada Hermes, ditarik tiga bentuk makna dasar dalam pengertian aslinya, yaitu to express (mengungkapkan), to assert (menjelaskan), dan to say (menyatakan). Makna-makna tersebut bisa diwakilkan dengan bentuk kata kerja Inggirs “to interpret”, yang membentuk makna independen dan signifikan bagi interpretasi. Oleh karenanya, interpertasi mengacu ke 3 (tiga) persoalan berbeda  yaitu pengucapan lisan, penjelasan yang masuk akal, dan penerjemahan dari bahasa lain[3]
Berhasil atau tidaknya misi tergantung cara bagaimana pesan itu disampaikan. Indikasi keberhasilan, manusia yang awalnya tidak tahu, menjadi mengetahui makna pesan yang disampaikan. Tugas menyampaikan pesan ini juga berarti harus mengalih bahasakan ucapan para dewa ke dalam bahasa yang dapat ditangkap intelegensia manusia. Pengalih bahasaan merupakan bentuk lain dari penafsiran. Dari sini kemudian pengertian kata hermeneutika memiliki kaitan dengan sebuah penafsiran atau interpretasi. 
B.     Teori – Teori Hermeneutika
Richard E. Palmer (2005: 38) menyimpulkan Dalam perkembangannya, hermeneutika terbagi dalam beberapa pembahasan
1.      Hermeneutika sebagai Teori Penafsiran Kitab Suci
Pemahaman ini merupakan pertama kali digunakan untuk hermeneutik, di sini hermeneutika difungsikan untuk memahami kitab suci, terutama oleh kalangan gereja. Hermeneutika bukanlah hasil atau isi penafsiran, melainkan metode. Tokoh utamanya adalah  J.C.Dannhauer. Pada masa ini, bentuk hermeneutika memunculkan banyak aliran serta corak yang terkadang saling bertolak belakang.
 Tokoh selanjutnya adalah Schleiermacher(1768-1834), dengan mencetuskan hermeneutika modern. Schleiermacher juga berjasa membakukan hermeneutika sebagai acuan dalam interpretasi secara metodologis.
ia yang memperluas pemahaman hermeneutika dari sekedar kajian teologi (teks bible) menjadi metode memahami dalam pengertian filsafat. Menurut perspektif tokoh ini, dalam upaya memahami wacana ada unsur penafsir, teks, maksud pengarang, konteks historis, dan konteks kultural[4]
2.      Hermeneutika sebagai Metode Filologi
Dalam defenisi ini, hermeneutika difungsikan sebagai metode pengkajian teks dan menempatkan semua teks sama, termasuk kitab suci. Pemahaman awal bahwa hermeneutik hanya untuk menafsirkan kitab suci mulai mengalami pergeseran. Menerapkan metode hermeneutika pada bidang non Kitab Suci yang terpenting adalah sang penafsir tidak hanya menarik nilai  moral dari suatu teks, tetapi juga mampu memahami roh yang berada di balik teks tersebut, dan menterjemahkan nya secara rasional sesuai konteks yang berlaku. Banyak ahli yang berpendapat, bahwa pemahaman semacam itu merupakan proses demitologisasi gerakan pencerahan atas teologi dan agama. Tokoh pada masa ini adalah Johan August Ernesti, ia diklaim sebagai sosok sekulerisme oleh kalangan gereja [5]
Kajian terpenting dari fungsi metodologi filologi, hermeneutika menuntut sang penafsir untuk mengerti latar belakang sejarah dari teks yang ditafsirkannya. Penafsir haruslah mampu berbicara tentang teks yang ditafsirkannya dengan cara yang sesuai dengan jaman yang berbeda, serta situasi yang berbeda. Dengan demikian, seorang penafsir juga adalah seorang ahli sejarah, yang mampu mengerti dan memahami makna historis dari teks yang dianalisanya, sehingga makna yang tersembunyi dapat terungkap.
3.      Hermeneutika sebagai Ilmu Pemahaman Linguistik
Dari metode filologi, hermeneutika berkembang kearah sebuah ilmu yang memahami linguistik. Hermeneutika difungsikan sebagai ilmu untuk memahami berdasarkan teori linguistik dan menjadi landasan interpretasi teks. Filsuf yang banyak memberikan kontribusi pemahaman linguistik kepada hermeneutika adalah Schleiermacher. Menurutnya hermeneutika bisa dikatakan semacam sintesa antara “ilmu” sekaligus “seni” untuk memahami bahasa. Schleiermacher kurang setuju kalau hermeneutika hanya terfokus kepada metode filologi, tetapi juga melihat hermeneutika sebagai “hermeneutika umum”. Hermeneutika semacam ini merupakan semacam sintesa antara tafsir Kitab Suci dan Filologi. [6]
4.      Hermeneutika sebagai Fenomena Dassein dan Pemahaman Eksistensial
Dalam defenisi ini, hermeneutika berfungsi sebagai penafsiran melihat fenomena tentang keberadaan manusia dengan menggunakan bahasa sebagai instrumennya. Martin Heidegger, dalam merefleksikan berbagai problem metafisika, ia menggunakan fenomenologi seperti yang dikemukakan Edmund Husserl.  Dalam bukunya Being and Time (1927),  ia melakukan refleksi atas (manusia) Dasein, yang disebutnya sebagai hermeneutika atas Dasein[7]
Heidegger tidak menyebut hermeneutika sebagai ilmu ataupun aturan tentang penafsiran teks, atau sebagai metodologi ilmu-ilmu kemanusiaan, tetapi sebagai eksplisitasi eksistensi manusia itu sendiri. Dalam konteks ini, hermeneutika bagi Heidegger bahwa “penafsiran” dan “pemahaman” merupakan modus mengada manusia. Dengan demikian, hermeneutika Dasein dari Heidegger, terutama selama berupaya merumuskan ontologi dari pengertian, jugalah merupakan hermeneutika. Ia merumuskan metode khusus hermeneutika untuk menafsirkan Dasein secara fenomenologis.
5.      Hermeneutika sebagai Sistem Interpretasi
Tokoh dibalik ini adalah Paul Ricoeur, ia mendefinisikan hermeneutika kembali pada analisis tekstual yang memiliki konsep-konsep distingtif serta sistematis. “Yang saya maksudkan dengan hemeneutika,” demikian tulis Ricoeur, “adalah peraturan-peraturan yang menuntun sebuah proses penafsiran, yakni penafsiran atas teks partikular atapun kumpulan tanda-tanda yang juga dapat disebut sebagai teks”
Ricoeur membedakan dua macam simbol, yakni simbol univokal dan simbol ekuivokal. Simbol univokal adalah simbol dengan satu makna, seperti pada simbol-simbol logika. Sementara itu, simbol ekuivokal, yang merupakan perhatian utama dari hermeneutika, yang simbol yang memiliki bermacam-macam makna. Heremeneutika haruslah berhadapan dengan teks-teks simbolik, yang memiliki berbagai macam makna. Hermeneutika juga haruslah membentuk semacam kesatuan arti yang koheren dari teks yang ditafsirkan, dan sekaligus memiliki relevansi lebih dalam serta lebih jauh untuk masa kini maupun masa depan. Dengan kata lain, hermeneutika merupakan sebuah sistem penafsiran, di mana relevansi dan makna lebih dalam dapat ditampilkan melampaui sekaligus sesuai dengan teks yang kelihatan.
6.      Hermeneutika sebagai Fondasi Metodologi bagi Geisteswissenchften
Wilhelm Dithey, ia menyebut hermeneutika adalah inti disiplin yang dapat melayani sebagai fondasi bagi melihat Geisteswissenchften (semua disiplin yang memfokuskan pada pemahaman seni, aksi, dan tulisan manusia) Dalam menafsirkan ekspresi hidup manusia, dibutuhkan tindakkan pemahaman sejarah.  Dalam pandangan Dilthey, apapun yang dibutuhkan dalam ilmu-ilmu kemanusiaan, merupakan “kritik” nalar yang akan mengurusi pemahaman sejarah. [8]
7.      Hermeneutika sebagai Sistem Penafsiran
Hermeneutika difungsikan sebagai seperangkat aturan penafsiran dengan cara menghilangkan segala misteri yang menyelimuti simbol dengan cara membuka selubung yang menutupinya. Tokohnya utama dibalik ini adalah Paul Richouer. Ia membedakan interpretasi teks tertulis dan percakapan. Makna tidak hanya diambil menurut pandangan hidup pengarang, tetapi juga menurut pengertian pandangan hidup dari pembacanya. 
Di samping itu masih ada tokoh lain yang turut berperan pada perkembang hermeneutika pada masa ini, seperti Jurgen Habermas (1929-), tokoh hermeneutika kritis, menyebutkan bahwa pemahaman didahului oleh kepentingan. Yang menentukan horizon pemahaman adalah kepentingan sosial yang melibatkan kepentingan kekuasaan interpreter. Setiap bentuk penafsiran dipastikan ada bias dan unsur kepentingan politik, ekonomi, sosial, suku, dan gender.  Selain itu juga ada Jacques Derrida (1930), tokoh hermenutika dekonstruksionis, dan Edmund Husserl (1889-1938), tokoh hermeneutika fenomenologis.
C.     Tokoh – tokoh Hermeneutika
Pemikiran dari beberapa filusuf
1.      Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher (1768 -1834)
Tokoh hermeneutika romantisis, memperluas pemahaman hermeneutika dari sekedar kajian teologi (teks bible) menjadi metode memahami dalam pengertian filsafat, Ia menyebutkan, dalam upaya memahami wacana ada unsur penafsir, teks, maksud pengarang, konteks historis, dan konteks kultural. Ia juga membedakan hermeneutik dalam pengertian sebagai ilmu atau seni.
Scleiermacher menulis sebagai berikut: Semenjak seni berbicara dan seni memahami berhubungan satu sama lain, maka berbicara hanya merupakan sisi luar dari berpikir, Hermeneutik adalah bagian dari seni berfikir itu dan oleh karenanya bersifat filosofis.
Penerapan hermeneutik sangatlah luas yaitu dalam bidang teologis, filosofis, sebab merupakan ” bagian dari seni berfikir “. Pertama- tama buah pikiran kita mengerti, baru kemudian kita ucapkan. Inilah alasannya, Ia menyatakan bahwa bicara kita berkembang seiring dengan buah pikiran kita. Namun bila saat berfikir kita merasa perlu untuk membuat persiapan dalam mencetuskan buah pikiran kita, maka pada saat itulah disebut sebagai ” Transformasi berbicara yang internal dan orisinal dan karenanya interpretasi menjadi penting”.
Schleiermacher menawarkan sebuah rumusan positif dalam bidang seni interpretasi, yaitu rekonstruksi historis, objektif dan subjektif terhadap pernyataan. Melalui Teori ini, ia bermaksud membahas sebuah pernyataan dalam hubungannya dengan bahasa sebagai keseluruhan. ia juga bermaksud membahas awal mula sebuah pernyataan masuk ke dalam pikiran seseorang.
2.      Wilhelm Dilthey (1833 -1911)
Hermeneutika metodis, ia beragumentasi bahwa proses pemahaman hermeneutika bermula dari pengalaman, kemudian mengekspresikannya. Pengalaman hidup manusia merupakan sebuah neksus struktural yang mempertahankan masa lalu sebagai sebuah kehadiran masa kini.
Baginya hermeneutika adalah “tehnik memahami ekspresi tentang kehidupan yang tersusun dalam bentuk tulisan”. Oleh karena itu ia menekankan pada peristiwa dan karya-karya sejarah yang merupakan ekspresi dari pengalaman hidup di masa lalu.
Dilthey  membedakan ilmu ke dalam Naturwissenschaften atau ilmu pengetahuan tentang alam dan Geisteswissenschaften atau ilmu pengetahuan tentang batin manusia. 
Perbedaan ini sangat penting karena pada kenyataannya kedua jenis ilmu pengetahuan tersebut mempergunakan metodologi atau pendekatan yang berbeda.
 Naturwissenschaften menggunakan metode ilmiah yang hasil penemuannya dapat dibuktikan dengan menggunakan metode yang sangat ketat,
sedangkan Geisteswissenschaften atau tentang hidup tidak dapat diterapi dengan metode ilmiah
Dilthey menyatakan bahwa metode atau pendekatan hermeneutik merupakan dasar dari Geisteswissenschaften. Ia tertarik pada metode hermeneutik ketika ia mencoba memecahkan persoalan tentang bagaimana membuat segala pengetahuan tentang individu manusia menjadi ilmiah.
3.      Edmund Husserl (1889 -1938)
Hermeneutika fenomenologis, ia beranggapan bahwa pemahaman teks harus dibiarkan berdiri sendiri tanpa adanya prasangka dan perspektif dari dari penafsir. Oleh sebab itu, menafsirkan sebuah teks berarti secara metodologis mengisolasikan teks dari semua hal yang tidak ada hubungannya, termasuk bias-bias subjek penafsir dan membiarkannya mengomunikasikan maknanya sendiri pada subjek.
4.      Martin Heidegger (1889 -1976)
Hermeneutika dialektis, menjelaskan tentang pemahaman sebagai sesuatu yang muncul dan sudah ada mendahului kognisi. Oleh sebab itu, pembacaan atau penafsiran selalu merupakan pembacaan ulang atau penafsiran ulang.
Pemikiran Heidegger sangat kental dengan nuansa fenomenologis,
Pada tahun 1927, dalam karyanya Sein und Zeit (Being and Time), Martin Heidegger memberikan pengertian baru tentang hermeneutik.
Menurut Heidegger, hermeneutik bukanlah mengenai pemahaman komunikasi linguistik,  juga bukan merupakan basis dari metodologi bagi ilmu-ilmu tentang kehidupan manusia atau geisteswissenschaften,
tetapi hermeneutik lebih merupakan ontologi. Heidegger berpendapat bahwa tugas dari filsafat adalah untuk menunjukkan bagaimana subjek dapat secara rasional memberikan aturan-aturan epistemologi di mana sebuah representasi dikatakan sebagai benar atau salah.
5.      Hans-Georg Gadamer (900-2002)
Hermeneutika dialogis, baginya pemahaman yang benar adalah pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis, bukan metodologis. Kebenaran dapat dicapai bukan melalui metode, tetapi melalui dialektika dengan mengajukan banyak pertanyaan. Dengan demikian, bahasa menjadi medium sangat penting bagi terjadinya dialog.
Gadamer merumuskan hermeneutika filosofisnya dengan bertolak pada empat kunci heremeneutis
a)      kesadaran terhadap “situasi hermeneutik”,
b)      situasi hermeneutika ini kemudian membentuk “pra-pemahaman” pada diri pembaca yang tentu mempengaruhi pembaca dalam mendialogkan teks dengan konteks. Pembaca harus selalu merevisinya agar pembacaannya terhindar dari kesalahan,
c)      setelah itu pembaca harus menggabungkan antara dua horizon, horizon pembaca dan horizon teks. Keduanya harus dikomunikasikan agar ketegangan antara dua horizon yang mungkin berbeda bisa diatasi. Pembaca harus terbuka pada horizon teks dan membiarkan teks memasuki horizon pembaca. Sebab, teks dengan horizonnya pasti mempunyai sesuatu yang akan dikatakan pada pembaca. Interaksi antara dua horizon inilah yang oleh Gadamer disebut “lingkaran hermeneutik”.
d)     menerapkan “makna yang berarti” dari teks, bukan makna objektif teks.
Filsafat hermeneutika Gadamer meniscayakan wujud kita berpijak pada asas hermeneutis, dan hermeneutika berpijak pada asas eksistensial manusia. Ia menolak segala bentuk kepastian dan meneruskan eksistensialisme Heidegger dengan titik tekan logika dialektik antara aku (pembaca) dan teks/karya [9]
6.      Jurgen Habermas (1929)
Hermeneutika kritis, menyebutkan bahwa pemahaman didahului oleh kepentingan. Yang menentukan horison pemahaman adalah kepentingan sosial yang melibatkan kepentingan kekuasaan interpreter. Setiap bentuk penafsiran dipastikan ada bias dan unsur kepentingan politik, ekonomi, sosial, suku, dan gender.
Di dalam teks tersimpan kepentingan pengguna teks. Karena itu, selain horizon penafsir, teks harus ditempatkan dalam ranah yang harus dicurigai. Menurut Habermas, teks bukanlah media netral, melainkan media dominasi. Karena itu, ia harus selalu dicurigai. Bagi Habermas pemahaman didahului oleh kepentingan. Yang menentukan horizon pemahaman adalah kepentingan sosial (social interest) yang melibatkan kepentingan kekuasaan (power interest) sang interpereter [10]
7.      Jean Paul Gustave Ricoeur (1913-2005)
Ia selalu menekankan betapa pentingnya memperhatikan simbol-simbol yang hidup di masyarkaat. Ricoeur menjelaskan tentang simbol-simbol dengan menggunakan simbol kejahatan dan juga menerangkan asal-usul dari kejahatan itu dengan menggunakan mitos-mitos. Kenyataan selalu tidak akan pernah lepas dari simbol-simbol yang harus di tafsirkan. Seperti halnya bahasa yang diterjemahkan dalam kata-kata, itu semua harus diterjemahkan agar manusia menemukan makna sesungguhnya. “Setiap teks mempunyai 3 macam otonomi, yaitu, intensi atau maksud pengarang, situasi cultural dan kondisi social pengadaan teks, serta untuk siapa teks itu dimaksudkan” (Sumaryono, 1999,109)
Paul Richour mendefinisikan hermeneutika yang mengacu balik pada fokus eksegesis tekstual sebagai elemen distingtif dan sentral dalam hermeneutika.
Hermeneutika adalah proses penguraian yang beranjak dari isi dan makna yang nampak ke arah makna terpendam dan tersembunyi. Objek interpretasi, yaitu teks dalam pengertian yang luas, bisa berupa simbol dalam mimpi atau bahkan mitos-mitos dari simbol dalam masyarakat atau sastra. Hermeneutika harus terkait dengan teks simbolik yang memiliki multi makna (multiple meaning); ia dapat membentuk kesatuan semantik yang memiliki makna permukaan yang betul-betul koheren dan sekaligus mempunyai signifikansi lebih dalam. Hermeneutika adalah sistem di mana signifikansi mendalam diketahui di bawah kandungan yang nampak.[11] Konsep yang utama dalam pandangan Ricoeur adalah bahwa begitu makna obyektif diekspresikan dari niat subyektif sang pengarang, maka berbagai interpretasi yang dapat diterima menjadi mungkin. Makna tidak diambil hanya menurut pandangan hidup (worldview) pengarang, tapi juga menurut pengertian pandangan hidup pembacanya.[12] Sederhananya, hermeneutika adalah ilmu penafsiran teks atau teori tafsir.
8.      Jürgen Habermas (1929)
Hermenutika dekonstruksionis, mengingatkan bahwa setiap upaya menemukan makna selalu menyelipkan tuntutan bagi upaya membangun relasi sederhana antara petanda dan penanda. Makna teks selalu mengalami perubahan tergantung konteks dan pembacanya.
D.    PENUTUP
Istilah hermeneutika merujuk kepada sejarah yang panjang dan masih banyak yang perlu dipelajari. Ketika era metafisika mulai berakhir, dan klaim sains modern dalam memonopoli ilmu pengetahuan berkurang secara otomatis, maka sebagai suatu upaya awal (starting point) untuk mengembangkan suatu universalitas yang murni kita dapat melihat konsep kuno ini (maksudnya hermeneutic ). Namun, di zaman Romantis (antara 1775-1830 pen.), hermeneutika berkembang hingga kesuatu titik yang meliputi teori tentang sains kemanusiaan secara menyeluruh. Jadi ia tidak hanya meliputi jurisprudensi dan teologi, tapi juga filologi dan semua disiplin terkait.
Karena ilmu dilahirkan oleh pandangan hidup maka ia memiliki presupposisi sendiri dalam bidang etika, ontologi, cosmologi dan metafisika. Disinilah sejatinya yang menentukan bahwa ilmu hermeneutika, itu tidak netral. seperti yang telah dibahas bahas diatas. Karena setiap konsep dalam suatu peradaban selalu diwarnai oleh pandangan hidup masing-masing tokoh, hal ini  menegaskan bahwa suatu peradaban tidak dapat begitu saja mengimport suatu konsep kecuali dengan proses modifikasi konseptual atau apa yang disebut “borrowing process”.  Jika modifikasi konsep itu melibatkan konsep-konsep dasar yang lebih utama maka perubahan paradigma (Paradigm Shift) tidak dapat dielakkan lagi.
Tujuan akhir dari pendekatan hermeneutik adalah kemampuan memahami penulis melebihi pemahamanm terhadap diri kita sendiri.  Seorang sejarawan yang menuliskan segala peristiwa sejarah, tidak jauh dari zaman di mana ia hidup, tidak akan mempunyai pandangan yang lebih jernih jika dibandingkan dengan sejarawan yang hidup sekian abad sesudahnya. Namun pandangan semacam ini dapat juga dianggap keliru. Sejauh prasangka dan keikutsertaan penulis yang bersifat subjektif dijauhkan, maka ia dapat melihat segala peristiwa dalam kebenarannya yang objektif atau sebagaimana mestinya terjadi. Dalam pendekatan hermeneutik, seseorang menempatkan dirinya dalam konteks ruang dan waktu, maka visinya juga mengalami berbagai macam perubahan. Ia menggunakan apa saja yang mungkin untuk ditafsirkan. Ini berbeda dengan metode ilmiah yang lebih mementingkan fenomena.



DAFTAR PUSTAKA 

Muslih, Moh.. 2005. Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Belukar.
Palmer, Richard E. 2005. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, Terj. Masnur Heri Damanhuri Muhammad, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutik. Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1996.
Http://id.wikipedia.org/wiki/Hermeneutika/Studi Hermeneutika dan Penerapannya.
Zarkasyi, Hamid Fahmy. Hermeneutika Sebagai Produk Pandangan Hidup. Dalam Kumpulan Makalah Workshop Pemikiran Islam Kontemporer, IKPM cabang Kairo, 2006.


[1]  Richard E. Palmer, op.cit., h. 14. 
[2] Llihat Komaruddin Hidayat, op. cit., h. 125-126 
[3] Lihat, Richard E. Palmer, Hermeneutika, Teori Mengenai Interpretasi,  15-16. 
[4] Lihat, Richard E. Palmer, Hermeneutika, Teori Mengenai Interpretasi, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2005) 39-42. 
[5] Lihat, Richard E. Palmer, Hermeneutika, Teori Mengenai Interpretasi, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2005) 43-44. 
[6] Lihat, Richard E. Palmer, Hermeneutika, Teori Mengenai Interpretasi, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2005) 45-46. 
[7] Lihat, Richard E. Palmer, Hermeneutika, Teori Mengenai Interpretasi, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2005) 46-47.  
[8] Lihat, Richard E. Palmer, Hermeneutika, Teori Mengenai Interpretasi, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2005) 45-46. 
[10] Hamid Fahmy Zarkasyi, op. cit., h. 9. 
[11] Richard E. Palmer, op.cit., h. 47-48  
[12] Hamid Fahmy Zarkasyi, loc. cit. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar